Bantuannya dapat disalurkan melalui :
BRI No. Rekening : 3813-01-007742-53-6 a.n. Pesantren Al-Imam Ashim


Minggu, 27 Februari 2011

Kegagalan tak membuat Zainal menyerah

Zainal Zainuddin (23 tahun) datang ke Jakarta kedua kalinya untuk mengikuti Musabaqah Tahunan Hafalan Alquran Sultan Bin Abdul Aziz Tingkat Nasional. Kegagalan dalam ajang yang sama tahun 2007 tidak mematahkan semangat pria asal Makassar ini untuk ikut berlomba.
"Dulu ikut cabang hafalan 15 juz dan gagal. Sekarang coba lagi ikut cabang hafalan 20 juz," katanya sembari tersenyum. Santri Pondok Pesantren Al Imam Ashim Makassar ini ditunjuk oleh pengasuh ponpes untuk mengikuti perlombaan yang diadakan Kantor Atase Agama Kerajaan Arab Saudi di Indonesia dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, IKADI, dan LPTQ tersebut.
Ia datang dengan dua orang rekannya sebab hanya mereka bertigalah yang lolos seleksi untuk bertanding di Jakarta. Zainal mengaku kali ini mempersiapkan diri lebih banyak dari sebelumnya.
Meskipun telah mampu menghafal 30 Juz Alquran di pondokannya, untuk cabang hafalan 20 juz ini, ia lebih sering lagi melakukan murajaah (mengulang hafalan).
Itu dia lakukan sejak surat pengumuman musabaqah sampai dt pondokan tempatnya menimba ilmu. "Persiapannya sudah sejak surat sampai, sebelum Ramadhan kemarin," katanya.
Setiap hari, ia berusaha menghafal lagi, terutama pada ayat-ayat yang terdengar mirip. Pasalnya, karena cara ujian hafalan ini para penguji menye-butkan ayat-ayat dan ia harus mampu melanjutkan atau menyebutkan nama surat dan nomor ayatnya. "Makanya yang saya rasakan hanya sulitnya berkonsentrasi karena sangat sulit membedakan ayat yang mirip," katanya.
Dari pengalaman yang pernah ia lalui, seluruh peserta dianggap rival yang kuat. "Tak ada daerah atau asal yang paling kuat, semuanya kuat. Hanya beda wawasan," kata pria berkulit putih yang sudah nyantri sejak 2005 ini. Ia manargetkan dapat meraih keberhasilan dalam musabaqah tahun ini.
Zainal menyatakan sudah senang menghafal Alquran sejak kelas 6 SD. Meskipun bukan keluarga santri, ia mengakui orang tuanya pun selalu mendukung dan mendoakan keberhasilan dari kesenangannya itu.
Tekad kuat dan dukungan keluarga itulah sehingga Zainal sampai ke Jakarta untuk kedua kalinya. Ia terus berusaha menepis semua hambatan yang mungkin menjegalnya, termasuk hambatan kesehatan karena fisik yang lelah selepas perjalanan panjang.
Juga, hambatan dari diri sendiri, yaitu perasaan riya (pamer) yang sesekali muncul. "Sesekali memang ada rasa itu. Tapi, alhamdulillah selalu terkalahkan dengan bisikan agar mencegah rasa itu kembali muncul," katanya.
Sebab, dia juga meyakini sikap riya merupakan hambatan. Untuk itu, ia harus tetap konsisten pada motivasi awalnya, mencari lebih banyak pengalaman dan menguatkan hafalan.

0 komentar:

Posting Komentar